
Pisah Harta Dalam Masa Perkawinan
Umumnya perjanjian pemisahan harta dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Tujuannya untuk memastikan tidak ada percampuran harta selama perkawinan. Lantas bisakah perjanjian pisah harta dilakukan pada saat perkawinan berlangsung? Bagaimana konsekuensinya terhadap hak waris?
Apa itu Perjanjian Pisah Harta?
Perjanjian pisah harta adalah bentuk dari perjanjian perkawinan, yaitu suatu persetujuan tertulis antara suami dan istri mengenai pengaturan harta benda mereka selama perkawinan, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Secara hukum, sejak berlangsungnya perkawinan terbentuk harta bersama antara suami dan istri sebagaimana diatur dalam Pasal 119 KUHPerdata, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian. Adapun harta benda dalam perkawinan dikategorikan menjadi harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta dalam penguasaan masing-masing pihak (suami atau istri) berupa harta bawaan sepanjang tidak ditentukan lain oleh para pihak (vide Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau “UU Perkawinan”).
Mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan dapat ditentukan lain agar tidak menjadi harta bersama. Saluran hukum yang ditempuh untuk menjadikan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta dalam penguasaan masing-masing adalah dengan cara mengadakan perjanjian perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan adalah persetujuan tertulis suami dan istri yang disahkan oleh pencatat perkawinan, isinya dapat berupa pemisahan harta selama perkawinan. Secara khusus, perjanjian pisah harta mengatur mengenai kepemilikan dan pengelolaan harta masing-masing pihak, baik yang dimiliki sebelum maupun selama perkawinan, dan harus dibuat dalam bentuk akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata.
Perjanjian Pisah Harta Saat Perkawinan
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 69/PUU-XIII/2015 pada tanggal 27 Oktober 2016 (“Putusan MK”), perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkannya perkawinan. Putusan MK tersebut merubah ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sehingga menjadi perjanjian pisah harta tidak hanya dapat dibuat sebelum atau saat pernikahan, tetapi juga selama dalam ikatan perkawinan.
Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 69/2015”):
Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Meskipun perjanjian tersebut dapat dibuat selama berlangsungnya perkawinan, isinya harus sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 29 Ayat (2) UU Perkawinan). Syarat sah perjanjian perkawinan meliputi:
- Adanya persetujuan kedua belah pihak (suami istri);
- Disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris;
- Perjanjian Perkawinan tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Konsekuensi Perjanjian Pisah Harta Terhadap waris
Pasal 141 KUHPerdata:
“Para calon suami istri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisan keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu.”
Perjanjian pisah harta antara suami dan istri tidak menghilangkan hak waris mereka selama pihak yang bersangkutan masih memenuhi syarat sebagai ahli waris. Namun, jika pasangan suami istri telah membuat perjanjian pisah harta, maka saat salah satu dari mereka meninggal dunia, tidak ada pembagian harta bersama (Pasal 128 KUHPerdata), karena secara hukum tidak pernah terjadi percampuran harta. Dengan demikian, yang diwariskan hanyalah harta pribadi milik pewaris. Seluruh peninggalan tersebut akan dibagikan kepada para ahli waris sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), perjanjian pisah harta tidak menghapus hak waris antara suami dan istri selama tidak terhalang secara hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 173 KHI, duda atau janda tetap berhak menjadi ahli waris (Pasal 174 huruf b KHI). Jika ada perjanjian pisah harta, maka warisan hanya berasal dari harta pribadi pewaris, karena tidak ada harta bersama yang dibagi. Harta warisan tersebut dihitung setelah dikurangi biaya sakit, pemakaman, utang, dan pemberian kepada kerabat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 171 KHI.
Kesimpulan
Perjanjian pisah harta adalah bentuk dari perjanjian perkawinan atas kesepakatan tertulis antara suami dan istri yang mengatur kepemilikan dan pengelolaan harta masing-masing. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian ini juga dapat dibuat sebelum atau selama ikatan perkawinan berlangsung yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pemisahan harta tidak menghapus hak waris antara suami dan istri, baik menurut KUHPerdata maupun KHI. Pasangan yang ditinggalkan tetap berhak atas warisan dari harta pribadi milik pewaris, selama tidak terhalang secara hukum. Harta warisan akan dibagikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Authors :
Yohana Maranatha, S.H.
Eva Rutnauli Sinaga
Editor:
Muhammad Arief Ramadhan, S.H.