MENYUSUN “KONTRAK ANTI SENGKETA”

Penyusunan kontrak yang cermat dan jelas bukan hanya soal formalitas hukum, melainkan langkah krusial dalam mencegah atau meminimalisir sengketa di kemudian hari. Kontrak merupakan  fondasi utama dalam menjalin kerja sama yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip penyusunan kontrak harus menekankan kejelasan, keseimbangan hak dan kewajiban, serta mekanisme penyelesaian konflik harus diterapkan sejak awal. Lantas apa saja komposisi dalam menyusun kontrak?

Komparisi dan Kapasitas Pihak

Komparisi dalam kontrak adalah bagian yang menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak yang membuat perjanjian. Komparisi dalam kontrak ini berfungsi untuk menunjukkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak memiliki kapasitas dan kewenangan hukum untuk melakukan tindakan yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Dengan kata lain, komparisi memastikan bahwa orang atau badan hukum yang menandatangani kontrak berhak untuk melakukan apa yang diatur dalam kontrak.

Identitas Para Pihak

Dalam pembuatan kontrak, wajib diuraikan dengan jelas identitas dan kapasitas atau kewenangan bertindak para pihak. Misalnya dalam Akta Notaris. Pasal 38 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris , bahwa setiap akta terdiri atas kepala akta, badan akta, dan penutup akta. Dalam badan akta, memuat:

      1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
      2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
      3. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan; dan
      4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

Objek Perjanjian

Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak yang berbunyi:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Dalam sebuah Kontrak terdapat sebuah objek yang dijadikan perjanjian. Objek tersebut harus memenuhi unsur objektif, yaitu:

      1. Mengenai suatu hal tertentu yaitu dalam kontrak berarti objek perjanjian harus jelas dan spesifik, sehingga hak serta kewajiban kedua belah pihak dapat diidentifikasi dengan pasti.
      2. Sebab yang halal yaitu suatu perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Wanprestasi

Wanprestasi  adalah keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perjanjian gagal memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak, atau melakukan kewajiban tersebut secara tidak tepat waktu atau tidak sesuai standar yang ditentukan. Istilah ini merupakan “ingkar janji” yang dapat terjadi karena kelalaian pihak yang bersangkutan dan diatur dalam hukum perdata.

Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian” terdapat unsur-unsur wanprestasi meliputi empat hal:

      1. tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan;
      2. memenuhi prestasi dengan tidak sebagaimana mestinya;
      3. memenuhi prestasi tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan; dan
      4. melakukan hal yang dilarang menurut kontrak yang telah disepakati.

Pengenaan Pajak

Transaksi atau kegiatan yang diatur di dalam kontrak/perjanjian dapat menimbulkan kewajiban pajak jika termasuk dalam objek pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 44 tahun 2022 Tentang penerapan terhadap pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah:

“Kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit harus memuat:

      1. nilai kontrak atau perjanjian;
      2. dasar pengenaan pajak; dan
      3. besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.”

Jika nilai kontrak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), maka hal tersebut harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak; jika tidak dicantumkan, maka nilai kontrak tersebut dianggap sebagai dasar pengenaan pajak.

Domisili Penyelesaian Sengketa

Domisili Penyelesaian sengketa dalam sebuah kontrak berlandaskan pada Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak, Pasal 24 KUHPerdata juga memberikan kepada para pihak untuk memilih domisili penyelesaian kontrak bahwa para pihak dalam akta bebas memilih domisili hukum selain tempat tinggal yang sebenarnya. Pemilihan ini dapat bersifat mutlak atau terbatas sesuai kesepakatan. Dengan demikian, segala surat juru sita, gugatan, atau tuntutan dapat diajukan di domisili yang dipilih dan diperiksa oleh hakim di tempat tersebut.

 

Penulis:

Petrus Gabe Pandapotan

Evi Mutiara

Editor: 

Muhammad Arief Ramadhan, S.H.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *