
Mulai 2 Januari 2026, fondasi hukum pidana akan resmi diperbarui dari Wetboek van Strafrecht warisan kolonial (“KUHP Lama”) menuju KUHP nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”). KUHP Baru ditetapkan pada 2 Januari 2023 dan dinyatakan mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 624 KUHP Baru).
Bagi advokat, in-house counsel, dan aparat penegak hukum, 2025 bukan lagi waktu untuk berdebat apakah KUHP Baru ideal atau tidak. Akan tetapi menjadi waktu untuk “beres-beres” rezim risiko pidana: menata kembali SOP, kontrak, policy internal, hingga strategi kita menyusun pembelaan.
KUHP lama bertumpu pada asas legalitas klasik: nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “tiada perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana yang sudah ada sebelumnya”. Hal itu tertuang secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP lama.
KUHP Baru tetap memegang asas legalitas, tetapi sekaligus membuka pintu bagi pengakuan “hukum yang hidup dalam masyarakat” (living law). Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru masih menyatakan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan peraturan pidana yang telah ada. Namun Pasal 2 mengakui bahwa ada perbuatan yang patut dipidana berdasarkan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan asas hukum umum.
Dalam Penjelasan Umum, pembentuk undang-undang menyebut secara terbuka misi “dekolonialisasi” dan “demokratisasi” hukum pidana (vide Penjelasan Umum KUHP Baru), termasuk pengakuan delik adat dan pelembagaan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai bagian dari sistem umum KUHP (vide Pasal 45-50 KUHP Baru), bukan lagi “tambal sulam” di undang-undang sektoral.
Dengan kata lain: KUHP Baru bukan sekadar merubah pasal, tetapi merubah paradigma.
APA SAJA YANG HARUS DIANTISIPASI PRAKTISI HUKUM?
Pertama, strategi pembelaan tidak bisa lagi bertumpu pada legalitas sempit. Dengan diakuinya living law, dalam perkara yang kuat nuansa adat (tanah ulayat, pelanggaran adat lokal dengan konsekuensi pidana), advokat mesti memahami konfigurasi hukum adat setempat, keputusan lembaga adat, dan praktik sosial yang diakui. Argumen “tidak ada pasal undang-undang” tidak lagi otomatis menjadi tameng terakhir.
Kedua, risiko pidana korporasi naik kelas. Tindak pidana korporasi kini diatur sebagai rezim umum. Direksi, komisaris, hingga pemilik manfaat yang memberi instruksi bisa diposisikan sebagai pelaku. Compliance program harus nyata, terdokumentasi, dan bisa ditunjukkan sebagai upaya pencegahan, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
Ketiga, ancaman denda dan pidana tambahan perlu dikalibrasi ulang. Dengan kategori denda baru, pendekatan “lebih murah melanggar daripada patuh” menjadi berbahaya. Advokat perlu memetakan ulang ancaman denda di seluruh UU sektoral klien dan menyesuaikannya dengan batas atas kategori denda, lalu memasukkan faktor ini dalam negosiasi kontrak, pengaturan asuransi, dan studi kelayakan bisnis.
Keempat, perkara yang masih berjalan di sekitar 2026 harus diaudit. Ketentuan peralihan membuka ruang penggunaan KUHP Baru sepanjang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Penuntut perlu bersiap menyesuaikan dakwaan dan tuntutan, sementara penasihat hukum harus aktif menilai apakah jenis pidana, maksimum pidana, atau bahkan sifat pidananya menjadi lebih ringan di bawah rezim baru. Melewatkan audit transisi berarti melepas kesempatan pembelaan yang sah.
Kelima, regulasi turunan akan menjadi medan tafsir baru. Peraturan pelaksana KUHP Baru akan menentukan bagaimana konsep-konsep kunci (seperti living law, korporasi, dan kategori denda) diterjemahkan di lapangan. Pada masa tumpang tindih antara KUHP Lama, KUHP Baru, dan aturan pelaksananya, keunggulan praktisi terletak pada siapa yang paling rajin mengikuti perkembangan dan paling cepat mengunci argumentasi.
KESIMPULAN
Pada akhirnya, peralihan dari KUHP lama ke KUHP Baru bukan sekadar perubahan teks pasal, tetapi perubahan “medan permainan” yang nyata bagi semua praktisi: asas legalitas diperluas dengan pengakuan living law, korporasi ditempatkan tegas sebagai subjek pidana, denda dan sanksi dikalibrasi ulang, serta perkara yang melintas tahun 2026 berpotensi dinilai dengan rezim yang berbeda. Siapa pun yang tetap berpegang pada cara baca lama dengan menghafal pasal tanpa memetakan implikasi strategisnya bagi klien tentu akan tertinggal. Tugas kita sekarang adalah memastikan bahwa setiap perkara, kontrak, dan kebijakan internal sudah dibaca ulang dengan kacamata KUHP Baru, sehingga ketika 2026 tiba, kita tidak sibuk beradaptasi, tetapi sudah siap memanfaatkan ruang-ruang perlindungan hukum yang justru dibuka oleh kodifikasi baru ini.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Peraturan tentang Hukum Pidana
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Penulis: Kemas Aryo Rekso Menggolo, S.H.