
Sebagai Direksi atau Komisaris dalam suatu perseroan, segala keputusan dan kebijakan yang diambil memiliki risiko yang dapat merugikan perseroan. Maka timbul suatu pertanyaan apakah bisa Direksi atau Komisaris secara pribadi digugat perdata maupun pidana? Pertanyaan tersebut menjadi salah satu isu hukum yang cukup sering muncul dalam praktik korporasi, khususnya Ketika perseroan dihadapkan dengan kerugian bisnis, gagal bayar, kepailitan, hingga kerugian perseroan yang mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara yang diakibatkan dari suatu keputusan atau kebijakan Direksi atau Komisaris. Hal demikian menimbulkan kekhawatiran bagi Direksi atau Komisaris dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan bisnis perseroan dan menimbulkan kerugian dapat membuka peluang pertanggungjawaban pribadi (piercing the corporate veil). Dalam artikel berikut akan membahas secara komprehensif mengenai batasan Business Judgement Rule dalam memberikan perlindungan Direksi atau Komisaris perseroan.
Business Judgement Rule (“BJR”) merupakan doktrin bahwa Direksi dan Komisaris tidak dapat dibebani pertanggung jawaban secara hukum terhadap keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan, meskipun terhadap hal tersebut menimbulkan kerugian bagi perseroan, sepanjang dilakukan degan itikad baik dan kehati-hatian.[1] Hadirnya BJR sebagai perlawanan atas adanya doktrin fiduciary duty atau tanggung jawab Direksi perusahaan.[2] BJR hadir berdasarkan kebutuhan akan:
- Mencegah adanya tindakan kriminalisasi risiko bisnis;
- Memberikan ruang bagi Direksi atau Komisaris dalam menentukan keputusan strategis untuk perseroan;
- Memastikan perseroan dapat menentukan risiko bisnis secara rasional.
Asep N. Mulyana dalam buku karyanya berjudul Business Judgement Rule, Praktik Peradilan Terhadap Penyimpangan dalam Pengelolaan BUMN/BUMD menyampaikan bahwa “Business Judgement Rule merupakan salah satu instrumen yang dapat dijadikan landasan pijak bagi pelaku usaha untuk berkreativitas dalam mengambil keputusan bisnis” .[3] Doktrin BJR sering digunakan sebagai dasar pembelaan oleh Direksi dan Komisaris untuk terhindar dari tuntutan pertanggung jawaban hukum. Dengan kata lain, kerugian bisnis yang timbul dari keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Direksi atau komisaris tidak serta merta dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Direksi atau Komisaris tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban secara pribadi ketika memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan yang mengimplementasikan BJR, yang di antaranya sebagai berikut:
- Pasal 97 ayat (5) UU PT:
“Direksi dibebaskan dari tanggung jawab pribadi jika dapat membuktikan empat syarat kumulatif:
-
- Kerugian bukan karena kesalahan/kelalaiannya;
- Pengurusan dilakukan dengan itikad baik dan kehati-hatian;
- Tidak ada konflik kepentingan (direct/indirect conflict of interest);
- Telah mengambil tindakan untuk mencegah atau menghentikan kerugian.”
BJR dalam ketentuan di atas berlaku secara mutatis mutandis bagi Komisaris merujuk Pasal 114 UU PT. Ketentuan sebagaimana Pasal di atas harus dibuktikan secara kumulatif, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka BJR gugur dan tidak dapat digunakan untuk melindungi Direksi atau Komisaris terhadap pertanggungjawaban baik perdata maupun pidana.
- Pasal 3 ayat (1) Penjelasan UUK-PKPU
“…gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya”
Dalam konteks kepailitan berdasarkan ketentuan di atas, gugatan pertanggungjawaban diajukan oleh Kurator, dengan demikian Direksi atau Komisaris harus dapat membuktikan tidak adanya kelalaian yang menyebabkan perseroan pailit atau kesalahan dalam menentukan kebijakan manajemen (missmanagement).
Berdasarkan ketentuan di atas yang telah mengakomodir BJR, secara normatif dan praktik Direksi atau Komisaris tidak serta merta juga dapat berlindung dibalik BJR ketika dalam keadaan:
- Keputusan diambil tanpa data/informasi yang memadai (lack of informed decision);
- Melibatkan benturan kepentingan, langsung atau tidak langsung;
- Adanya fraud, manipulasi laporan, atau penyalahgunaan wewenang;
- Kelalaian berat yang menyebabkan perusahaan gagal bayar atau pailit;
- Tidak melakukan upaya pencegahan kerugian, padahal risiko sudah terlihat; atau
- Memenuhi unsur tindak pidana yang sebagaimana diatur dalam Pasal 604 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana Diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Dicabut Sebagian oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Dalam hal suatu perseroan mengalami suatu kerugian yang diakibatkan dari adanya suatu keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Direksi atau Komisaris, terdapat risiko diajukannya gugatan oleh:
- Pemegang saham (derivative suit);
- Kurator;
- Kreditor tertentu; hingga
- Aparat penegak hukum, apabila terindikasi unsur pidana.
Terhadap adanya gugatan yang ditujukan kepada Direksi atau Komisaris, untuk dapat mempergunakan BJR perlu halnya mempersiapkan bukti-bukti pendukung yang di antaranya sebagai berikut:
- Risalah RUPS/RUPS-LB;
- Risalah Rapat Direksi;
- Dokumen kajian risiko keputusan atau kebijakan bisnis perseroan;
- Pendapat hukum terhadap keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan; dan
- Upaya mitigasi risiko yang telah dilaksanakan.
Semakin lengkap dokumentasi yang dipergunakan sebagai bukti terhadap penentuan keputusan bisnis oleh Direksi atau Komisaris, maka dapat memperkuat peluang perlindungan BJR. Pada praktik penggunaan BJR telah diakomodir dalam Putusan Mahkamah Agung 121 K/Pid.Sus/2020 dalam perkara terkait Direktur Utama perseroan menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dan Hakim Agung dalam pertimbangannya menyampaikan sebagaimana berikut:
“…. langkah-langkah yang dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Utama PT Pertamina dan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi tidak keluar dari ranah Business Judgement Rule, ditandai tiadanya unsur kecurangan (freud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja;”
Dengan demikian atas pertimbangan di atas, Terdakwa dalam hal ini selaku Direktur utama perseroan pada perkara a quo terlindung dari adanya BJR dan diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Pada sisi lain, BJR tidak dapat diterapkan sebagai perlindungan Direksi sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3264 K/PDT/1992 dalam perkara Direktur yang membuat pernyataan utang atas nama Perseroan tanpa persetujuan Komisaris sesuai anggaran dasar, pada pokoknya hakim mempertimbangkan sebagai berikut
” ….Bertitik tolak dari alasan-alasan yang dikemukakan di atas, tindakan yang dilakukan Tergugat III (Direksi) membuat pernyataan hutang kepada Penggugat untuk dan atas nama Tergugat I dan Tergugat II (Perseroan) tanpa persetujuan komisaris sesuai dengan ketentuan pasal 11 (2) AD, adalah tindakan yang bersifat ULTRA VIRES, karena tindakan itu sudah berada di luar batas kewenangannya. Oleh karena itu, tindakan Tergugat Ill tersebut tidak sah dan tidak mengikat kepada Tergugat I dan Tergugat II sesuai dengan asas pertanggung jawaban terbatas (limited liability) yang melekat pada Tergugat I dan Tergugat II sebagai perseroan badan hukum”
Bahwa dengan demikian BJR tidak dapat diterapkan sebagai dasar perlindungan atas pertanggung jawaban Direksi dikarenakan ditemukan suatu kelalaian atau kesalahan dalam memutuskan suatu tindakan atau kebijakan untuk dan atas nama perseroan.
Kesimpulan
Pada dasarnya keputusan dan kebijakan yang diambil atau dikeluarkan oleh Direksi dan Komisaris Perseroan merupakan suatu keputusan bisnis dalam menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan. Terhadap keputusan atau kebijakan bisnis yang dikeluarkan oleh Direksi atau Komisaris yang menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi sepanjang dapat dibuktikan secara kumulatif bahwa tidak terdapat kesalahan/kelalaian, dilaksanakan dengan itikad baik dan hati-hati, tidak ada konflik kepentingan, serta telah melakukan upaya mitigasi atau pencegahan. Maka apabila dapat dibuktikan unsur-unsur tersebut secara kumulatif, maka BJR dapat digunakan untuk melindungi Direksi dan Komisaris dari segala tuntutan pribadi.
[1] Ramlan, Rizka Syafriana, dan Dewi Kartika, Hukum Perseroan Persekutuan Modal (PT) di Indonesia, Medan: UMSU PRESS, 2024. Halaman. 181-182.
[2] Asep Mulyana, Business Judgment Rule, Praktik Peradilan Terhadap Penyimpangan dalam Pengelolaan BUMN/BUMD. Jakarta: PT Grasindo, 2018.
[3] Ibid.
Referensi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana Diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Dicabut Sebagian oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Asep Mulyana, Business Judgement Rule, Praktik Peradilan Terhadap Penyimpangan dalam Pengelolaan BUMN/BUMD, Jakarta: PT Grasindo, 2018.
Ramlan, Rizka Syafriana, dan Dewi Kartika, Hukum Perseroan Persekutuan Modal (PT) di Indonesia, Medan: UMSU PRESS, 2024.
Penulis: Muhamat Yanuar Abidin, S.H.