Praktik outsourcing di Indonesia lama-lama berkembang seperti “jual putus” terhadap pekerja, dimana setiap kali kontrak perusahaan alih daya habis dan vendor berganti, pekerja diminta tanda tangan kontrak baru, masa kerja di-reset, dan seolah-olah seluruh riwayat hubungan kerjanya lenyap begitu saja. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 hadir tepat di titik persoalan itu dan dari sanalah konsep Transfer of Undertaking Protection of Employment (”TUPE”) masuk secara eksplisit ke dalam rezim hukum ketenagakerjaan kita.

Sejak putusan tersebut dibacakan, outsourcing bukan lagi ruang kosong yang bisa diisi semata-mata oleh kehendak bisnis. Ada pagar konstitusional yang jelas dimana hak pekerja tidak boleh ikut diputus hanya karena nama perusahaan penyedia jasa berubah.

Secara sederhana, TUPE berarti bahwa ketika suatu kegiatan usaha atau pelaksanaan pekerjaan dialihkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, perlindungan atas hubungan kerja dan hak-hak pekerja ikut berpindah, bukan hilang di tengah jalan. MK mengadopsi prinsip yang lazim dikenal di yurisdiksi lain ini ke dalam konteks alih daya di Indonesia ketika menguji Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (”UUTK”).

Dalam Putusan MK No. 27/2011, MK membedakan dua model hubungan kerja dalam skema outsourcing:

  1. Model PKWTT antara pekerja dan perusahaan alih daya. Selama syarat-syarat alih daya dipenuhi, konstruksi ini dianggap konstitusional.
  2. Model PKWT antara pekerja dan perusahaan alih daya. Untuk model ini, MK menegaskan bahwa PKWT hanya dapat dinyatakan konstitusional apabila disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja ketika perusahaan alih daya berganti, sepanjang objek pekerjaan masih ada.

Di titik inilah MK menempatkan prinsip TUPE secara tegas, PKWT outsourcing tanpa klausul pengalihan perlindungan hak adalah inkonstitusional bersyarat. Pekerja tidak boleh kehilangan pekerjaan dan masa kerjanya hanya karena perusahaan pengguna mengganti vendor yang mengerjakan pekerjaan yang sama.

Putusan MK No. 27/2011 kemudian “diterjemahkan” ke dalam ketentuan tertulis. Dalam rezim alih daya, Pasal 64 UUTK menjadi pintu masuk yang menegaskan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui mekanisme alih daya.

MK lalu memaknai ulang konfigurasi Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UUTK, khususnya terkait penggunaan PKWT dalam alih daya. Pengaturan ini kemudian dipertegas dengan rumusan bahwa PKWT pada perusahaan alih daya harus mengandung syarat pengalihan pelindungan hak-hak pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada (vide Pasal 66 ayat (3) UUTK jo. Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011).

Pada level peraturan pelaksana, prinsip tersebut diakomodasi secara lebih teknis dalam PP No. 35 Tahun 2021. Pasal 18 PP No. 35 Tahun 2021 mengatur bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerja dapat berbentuk PKWT atau PKWTT, dan pengusaha alih daya bertanggung jawab penuh atas pemenuhan hak pekerja. Yang paling penting, Pasal 19 PP No. 35 Tahun 2021 mewajibkan agar PKWT dalam skema alih daya memuat klausul pengalihan pelindungan hak apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya, sepanjang objek pekerjaan tetap ada.

Dengan demikian, prinsip TUPE tidak lagi berhenti sebagai doktrin atau pertimbangan yudisial semata; ia telah berwujud sebagai kewajiban normatif dalam UUTK jo. PP 35 Tahun 2021.

Bagi pekerja outsourcing, TUPE memberikan pegangan yang konkret. Pergantian vendor tidak otomatis memutus masa kerja. Selama pekerjaan yang sama tetap berjalan di perusahaan pengguna, pekerja memiliki dasar untuk menuntut agar hak dan masa kerjanya diakui dan dialihkan kepada perusahaan alih daya yang baru, bukan dipaksa memulai dari nol setiap kali kontrak vendor berganti (vide Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 dan Pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003).

Bagi perusahaan alih daya dan perusahaan pemberi kerja, implikasinya tidak sederhana. Skema kontraktual harus dirancang ulang:

  1. PKWT dalam alih daya tidak dapat lagi dibuat tanpa klausul pengalihan pekerja dan hak-haknya jika terjadi pergantian perusahaan alih daya;
  2. Kegagalan memasukkan klausul TUPE bukan sekadar cacat kontraktual, tetapi berpotensi bertentangan dengan putusan MK dan bertabrakan dengan kewajiban dalam PP No. 35 Tahun 2021 (vide Pasal 18 dan Pasal 19 PP No. 35 Tahun 2021).

Dengan kata lain, desain bisnis outsourcing kini harus menghitung biaya dan risiko kepatuhan terhadap TUPE sebagai bagian dari cost of doing business, bukan sebagai opsi yang bisa dinegosiasikan sepihak.

Bagi praktisi hukum baik yang berada di sisi pekerja, perusahaan, maupun in-house counsel, TUPE telah menjadi elemen wajib dalam analisis sengketa outsourcing. Membaca kontrak PKWT alih daya tanpa meneliti:

  1. Apakah ada klausul pengalihan pelindungan hak pekerja bila vendor berganti; dan
  2. Bagaimana mekanisme pengalihan tersebut diatur secara konkret.

adalah bentuk kealpaan profesional. Basis argumen tidak lagi cukup berhenti pada teks UUTK, tetapi harus menggabungkan Putusan MK No. 27/2011 dan pengaturan lanjutannya di PP No. 35 Tahun 2021 (vide Pasal 18 dan Pasal 19 PP No. 35 Tahun 2021).

Putusan MK No. 27/2011 dan konsep TUPE pada dasarnya menegaskan satu hal: negara tidak melarang fleksibilitas usaha melalui outsourcing, tetapi menolak model fleksibilitas yang dibangun di atas penghapusan hak pekerja.

Kesimpulan

Pada akhirnya, Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 dan prinsip TUPE menegaskan bahwa outsourcing boleh dipakai sebagai instrumen fleksibilitas usaha, tetapi tidak boleh lagi dijalankan dengan pola “jual putus” yang memutus hak dan masa kerja pekerja setiap kali vendor berganti; ketika kegiatan usaha atau pekerjaan dialihkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, perlindungan hubungan kerja dan hak-hak pekerja wajib ikut berpindah, dan hal ini kini telah dikonstruksi sebagai kewajiban normatif melalui Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UUTK serta dijabarkan secara teknis dalam Pasal 18 dan Pasal 19 PP No. 35 Tahun 2021 yang mewajibkan klausul pengalihan pelindungan hak dalam PKWT alih daya, sehingga bagi pekerja TUPE menjadi pegangan konkret, bagi pengusaha menjadi bagian dari cost of doing business yang tak bisa diabaikan, dan bagi praktisi hukum baik di kubu pekerja, pengusaha, maupun in-house menjadi elemen wajib dalam membaca, merancang, dan menggugat kontrak outsourcing di masa kini.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu 2/2022 menjadi Undang-Undang
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK

 

Penulis: Kemas Aryo Rekso Menggolo, S.H.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *