Para pencari keadilan (justicia bellen) di bidang perpajakan pada dasarnya adalah Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang tidak menyetujui hasil penetapan utang pajak dan Tindakan penagihanannya yang dilakukan oleh Fiskus sebagai administrasi pemerintahan yang berwenang du Bidang Perpajakan.[1]
Lalu bagaimana apabila dalam sengketa pengadilan perpajakan banding dan gugatan Wajib Pajak ditolak oleh Hakim Pengadilan Pajak?
Mengingat bahwa kedudukan Pengadilan Pajak adalah setingkat dengan Pengadilan Tinggi (Pengadilan Pajak sebagai Pengadilan tingkat pertama dan terakhir) yang kekuatan hukum putusannya bersifat final and binding (putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap), vide Pasal 33 ayat (1), Pasal 77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak (“UU PP”), maka Putusan Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi).
Oleh karenanya bagi Wajib Pajak yang tidak puas dengan Putusan Hakim Pengadilan Pajak, dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut, yaitiu dengan mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa berupa Upaya pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI.
Bahwa berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU PP, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor Kep 01/PP/2020 tentang Syarat-Syarat Kelengkapan Administrasi Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak mendefinisikan Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kembali Putusan Pengadilan Pajak;
Bahwa alasan diajukannya permohonan Peninjauan Kembali beserta tenggat waktunya berdasarkan Pasal 91 UU PP jo. Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak yaitu sebagai berikut:
[1] M. Farouq S., A.Md., S.E., S.H., S.H.I., Bkp, Hukum Acara Peradilan Pajak, 2022, Kencana : Jakarta, hal. 46