Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan. Perceraian adalah salah satu peristiwa penting dalam kehidupan yang dapat membawa dampak besar, terutama bagi pasangan dan anak-anak. Dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, perceraian dapat terjadi melalui dua cara utama, yaitu cerai talak dan cerai gugat.
Cerai Talak vs Cerai Gugat
1.Cerai Talak:
Cerai talak adalah perceraian yang diinisiasi oleh suami dengan mengucapkan talak kepada istrinya.
Pasal 114 KHI yang berbunyi:
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Adapun yang dimaksud tentang talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Secara sederhana, cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan atau dimohonkan oleh pihak suami.
Dalam Islam, talak dapat diucapkan satu, dua, atau tiga kali, tergantung pada situasi dan niat suami. Setelah talak diucapkan, proses perceraian harus disahkan melalui Pengadilan Agama untuk memastikan bahwa semua syarat hukum terpenuhi.
Dengan demikian, jika disimpulkan, sederhananya jika istri merupakan pihak yang mengajukan gugatan untuk menceraikan suami, prosesnya dikenal sebagai cerai gugat. Sebaliknya, jika suami merupakan pihak yang mengajukan gugatan untuk menceraikan istri, prosesnya dikenal sebagai cerai talak. Setelah talak dijatuhkan, suami tetap memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah iddah kepada istri hingga masa tunggu selesai. Jika dalam masa iddah istri hamil, maka hak nafkahnya akan berlangsung hingga melahirkan
2. Cerai Gugat:
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975). Istri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan-alasan tertentu, seperti suami tidak menjalankan kewajiban, kekerasan dalam rumah tangga, atau perselisihan yang tidak dapat didamaikan.
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayah tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Hak Anak Akibat Perceraian Kedua Orang Tua :
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf C menentukan biaya pemeliharaan anak menjadi kewajiban Ayah. Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
- Ayah yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri
Hak yang Diperoleh Ibu Setelah Perceraian:
Selain hak anak, ibu juga memiliki hak-hak tertentu setelah perceraian, baik dalam cerai talak maupun cerai gugat. Berikut adalah beberapa hak tersebut:
- Hak Mendapatkan Nafkah Selama Masa Iddah Setelah perceraian, istri berhak mendapatkan nafkah dari mantan suami selama masa iddah (masa tunggu). Masa iddah biasanya berlangsung selama tiga bulan atau hingga istri melahirkan jika sedang hamil.
- Hak Mendapatkan Mut’ah (Uang Santunan) Dalam hukum Islam, istri berhak mendapatkan uang santunan (mut’ah) dari mantan suami sebagai bentuk penghargaan atas pernikahan yang telah dijalani. Besaran mut’ah biasanya disesuaikan dengan kemampuan suami dan kesepakatan kedua belah pihak.
- Hak Mendapatkan Harta Gono-Gini Jika selama pernikahan terdapat harta bersama (gono-gini), istri berhak mendapatkan bagian yang adil sesuai dengan kontribusinya selama pernikahan. Pembagian harta gono-gini biasanya dilakukan melalui kesepakatan atau keputusan pengadilan.
- Hak Mendapatkan Pengasuhan Anak Seperti yang telah disebutkan, ibu biasanya menjadi pihak pertama yang berhak mengasuh anak setelah perceraian, terutama jika anak masih kecil. Namun, hak ini dapat disesuaikan dengan kepentingan terbaik anak.
Disisi lain jika suami tidak memenuhi kewajiban nafkah setelah perceraian, istri dapat mengajukan permohonan eksekusi putusan ke Pengadilan Agama untuk memastikan hak-haknya tetap terlindungi.
Kesimpulan:
Cerai talak dan cerai gugat adalah dua mekanisme perceraian yang diakui dalam hukum Islam dan perundang-undangan Indonesia. Meskipun perceraian mengakhiri hubungan suami-istri, hak-hak anak dan ibu tetap dilindungi oleh hukum. Anak berhak mendapatkan nafkah, pendidikan, dan pengasuhan yang layak, sementara ibu berhak mendapatkan nafkah selama iddah, mut’ah, dan bagian dari harta gono-gini. Dalam situasi apa pun, kepentingan terbaik anak.