Kepailitan tidak hanya indentik dengan kebangkrutan, melainkan suatu proses hukum yang dirancang untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan solusi yang adil bagi kreditur maupun debitur. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan adalah keadaan ketika seorang debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak mampu membayar utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Secara hukum, terdapat dua pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit, yaitu:
- Debitur itu sendiri, yang merasa tidak lagi mampu memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
- Kreditur, baik perseorangan maupun badan hukum, yang memiliki klaim terhadap utang debitur dan dapat membuktikan adanya lebih dari satu kreditur serta utang yang telah jatuh tempo.
Lalu bagaimana jika yang dinyatakan pailit adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN)? Apakah kepailitan dapat berdampak langsung terhadap status kepegawaiannya?
Hingga saat ini, tidak terdapat aturan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang secara eksplisit menyebut bahwa status pailit dapat menjadi alasan untuk pemberhentian tidak dengan hormat bagi ASN. Artinya, ASN yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis diberhentikan dari jabatannya.
Namun, konsekuensi tidak langsung tetap mungkin terjadi. Status pailit dapat berdampak pada:
- Penilaian integritas pribadi, yang menjadi salah satu indikator dalam sistem merit ASN.
- Kesempatan promosi atau pengangkatan jabatan, terutama jika kepailitan menimbulkan persepsi publik yang negatif atau mengurangi kepercayaan atas profesionalitas ASN.
Selain itu, konsekuensi lain dari status pailit adalah penyitaan dan pemberesan harta kekayaan debitur oleh kurator, yang nantinya digunakan untuk membayar utang kepada para kreditur. Namun perlu dibedakan antara aset pribadi ASN dan fasilitas negara yang digunakan ASN.
Banyak ASN menggunakan fasilitas negara seperti rumah dinas, kendaraan dinas, atau peralatan kerja lainnya dalam menunjang pelaksanaan tugas. Lalu, apakah aset-aset tersebut bisa disita sebagai bagian dari harta pailit?
Menurut Pasal 50 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dinyatakan bahwa:
“Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah.”
Rumah dinas, kendaraan dinas, dan seluruh fasilitas kerja yang dimiliki negara tidak dapat dimasukkan dalam daftar harta pailit karena secara hukum bukan merupakan milik pribadi ASN. Yang dapat disita hanyalah aset yang sah secara hukum dimiliki oleh ASN sebagai pribadi, seperti rumah pribadi, kendaraan pribadi, atau simpanan di rekening atas nama pribadi.
Meskipun tidak ada ketentuan yang secara langsung menyatakan bahwa ASN yang dinyatakan pailit harus diberhentikan dari jabatannya, kondisi kepailitan tetap memiliki implikasi moral dan reputasi, kepercayaan publik, serta kelayakan dalam menduduki posisi strategis bisa terdampak oleh status pailit tersebut. Di sisi lain, hukum tetap memberikan perlindungan terhadap fasilitas negara yang digunakan ASN agar tidak disalahgunakan dalam proses pemberesan utang pribadi.