
- PENDAHULUAN
Akta Jual Beli (AJB) merupakan instrumen penting dalam transaksi jual beli tanah maupun bangunan. AJB yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki kekuatan sebagai akta otentik dan menjadi dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah melalui proses balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, permasalahan muncul ketika dalam AJB dinyatakan bahwa harga telah dibayar lunas, padahal faktanya pembayaran belum sepenuhnya dilakukan. Fenomena ini menimbulkan berbagai implikasi hukum baik bagi para pihak maupun bagi PPAT itu sendiri.
- AJB DAN AKTA OTENTIK
- AJB adalah akta otentik yang punya kekuatan hukum sempurna. Kalau di dalamnya tertulis “lunas”, hukum akan menganggapnya benar sampai ada bukti sebaliknya.
- Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat dan Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat di antara para pihak yang membuatnya, sehingga dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan setiap akta yang dibuat dihadapan Notaris dan PPAT merupakan Akta Otentik dengan pembuktian yang sempurna;
- RISIKO HUKUM
- Penjual dapat kehilangan hak atas pembayaran
Bahwa seperti yang penulis jelaskan diatas AJB yang dibuat dihadapan PPAT merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga Ketika didalam AJB telah dinyatakan pembayaran lunas, maka demi hukum pembeli telah dinyatakan telah membayar dan penjual dimata hukum telah menerima pembayaran, sehingga
- Penjual dapat kehilangan tanahnya
Karena AJB menyatakan “lunas”, maka sertifikat dapat langsung diproses untuk balik nama ke pembeli. Akibatnya, penjual berpotensi kehilangan tanahnya meskipun pembayaran belum diterima. Kondisi ini sangat merugikan karena hak atas tanah telah berpindah, sementara pembayaran demi hukum dinaggap lunas.
- PERTANGGUNGJAWABAN PPAT
- Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu atas hak atas tanah.
- PPAT sebagaimana PP No. 24 tahun 2016 memiliki Tanggung Jawab;
- Menjunjung tinggi dasar negara, hukum, sumpah jabatan dan kode etik.
- Berpelilaku Profesionalisme
- Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak.
- Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT yang tidak menjalankan tanggungjawabnya maka, bisa dikenakan teguran, pemberhentian sementara, bahkan dicabut jabatannya
- UPAYA HUKUM YANG DAPAT DI TEMPUH
Risiko hukum dari AJB yang mencantumkan ‘lunas’ faktanya belum, jelas menimbulkan kerugian nyata bagi penjual, sehingga dalam hal ini penjual selaku pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut:
- Dapat mengajukan pembatalan perjanjian
Bahwa berdasarkan Pasal 1320 Kuhperdata, terdapat 2 syarat sah perjanjian, yaitu:
| Jenis | Syarat Sah Perjanjian |
| Syarat Subjektif | 1. Kesepatakatan Para Pihak
2. Kecakapan para pihak |
| Syarat Objektif | 1. Suatu hal tertentu
2. Sebab yang halal |
Bahwa berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata mengatur bahwa tidak ada suatu kesepakatan yang mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Artinya, perjanjian di bawah tekanan atau paksaan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak terdapat kesepakatan dari para pihak, sehingga unsur subjektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi dan pembatalan AJB dapat dibatalkan;
- Dapat mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata: menyebutkan “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
- Unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Untuk dapat menggugat, pihak yang dirugikan harus membuktikan adanya:
- Perbuatan → dalam hal ini pencantuman “lunas” dalam AJB padahal tidak sesuai fakta.
- Melawan hukum → bertentangan dengan kewajiban hukum, kesusilaan, maupun kepatutan.
- Kerugian → penjual tidak menerima pembayaran penuh, sehingga mengalami kerugian finansial.
- Kausalitas → kerugian timbul karena AJB yang dibuat tidak sesuai kenyataan.
- Kesalahan → baik kesengajaan maupun kelalaian dari pihak pembeli, bahkan dapat melibatkan PPAT.
- Dapat mengajukan laporan pidana
Kalau PPAT dan para pihak sengaja menuliskan “lunas” padahal tidak, maka bisa dianggap keterangan palsu dalam akta otentik. Dengan dugaan tindak pidana Pasal 266 KUHP, pidana atas pemberian keterangan palsu dalam akta otentik;
Pasal 266 KUHP mengatur mengenai:
- Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, apabila pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur Delik:
Bahwa Pasal 266 KUHP memiliki beberapa unsur yang harus terpenuhi yaitu, sebagai berikut:
- Perbuatan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menyuruh orang lain melakukannya.
→ Misalnya, pembeli atau PPAT memasukkan pernyataan bahwa pembayaran sudah lunas.
- Hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta.
→ Dalam AJB, salah satu hal yang harus benar adalah status pembayaran harga jual beli, namun dipalsukan dengan memasukan pernyataan pembayaran telah lunas.
- Adanya maksud untuk memakai akta seolah-olah keterangan tersebut benar.
→ AJB dipakai untuk balik nama sertifikat di BPN.
- Pemakaian akta dapat menimbulkan kerugian.
→ Penjual dirugikan karena hak atas tanah berpindah meski pembayaran belum lunas.
- KESIMPULAN
Keberadaan AJB yang tidak sesuai fakta menimbulkan persoalan serius. Dari sisi penjual, terdapat potensi kehilangan hak atas sisa pembayaran. Dari sisi pembeli, terdapat risiko gugatan wanprestasi atau bahkan AJB dapat dibatalkan. Sedangkan dari sisi PPAT, hal ini dapat menurunkan integritas profesi dan berimplikasi pada sanksi hukum perdata, pidana, dan administratif. Dengan demikian, PPAT memiliki tanggung jawab preventif untuk memastikan setiap akta mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sedangkan dari segi penjual dapat melakukan upaya hukum pembatalan perjanjian, gugatan perbuatan melawan hukum dan laporan pidana.
Penulis:
Renaldi Avri Angga, S.H
Editor:
Muhammad Arief Ramadhan, S.H.