Pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia
Dalam rangka pembaharuan peraturan hukum pidana di Indonesia, setelah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Pemerintah Republik Indonesia merancang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“RKUHAP”). dalam rancangan ini menawarkan perubahan yang bersidat mendasar dan berkaitan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Terdapat beberapa perubahan signifikan yang terdapat dalam RKUHAP yang ditujukan untuk efisiensi dan kemudahan penyelesaian perkara pidana di Indonesia seperti penghentian penuntutan demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu, menghentikan penuntutan perkara yang bersifat sirngan serta memprioritaskan penuntutan perkara yang pembuktiannya sulit.
Ancaman pidana bagi saksi dan ahli yang secara sengaja menolak memberikan keterangan di persidangan
Salah satu perubahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam RKUHAP adalah pada Pasal 196 ayat 2 yang terdapat pada acara pemeriksaan biasa yang tertulis sebagaimana yang kami kutip berikut:
“(2) Dalam hal saksi atau ahli tidak hadir. Meskipun telah dipanggil dengan sah dan Hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”
Lebih lanjut, terdapat penjelasan dari Pasal 196 ayat (2) tersebut diatas sebagaimana yang kami kutip berikut ini:
“(2) menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap Orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu, orang yang menjadi saksi dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.”
Pada dasarnya, perubahan ini dibentuk untuk ditujukan kepada hal positif yaitu apabila seorang saksi menolak untuk bersaksi di persidangan sedangkan saksi tersebut adalah orang yang secara langsung mengetahui, melihat dan menyaksikan terjadinya suatu tindak pidana secara langsung tetapi menolak untuk memberikan keterangan di persidangan maka akan menghambat proses penegakan hukum pidana di Indonesia.
Dengan adanya kewajiban seorang saksi untuk hadir dan memberikan keterangan di persidangan dapat memudahkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya serta dapat memberikan keadilan bagi korban tindak pidana. Baik keterangan saksi ataupun keterangan ahli dapat berperan penting dalam rangka mengungkap fakta hukum yang sebenarnya terjadi.
Penghindaran obstruction of justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
Hal ini tentunya juga dapat menghindarkan proses penegakan hukum dari obstruction of justice (menghalangi proses persidangan untuk mencapai keadilan), penolakan memberikan keterangan di hadapan persidangan oleh saksi dan ahli dapat menghambat upaya penegakan hukum terlebih lagi jika saksi dan ahli tersebut menolak untuk memberikan keterangan di persidangan secara sengaja. Oleh karena itu dengan adanya pasal 196 ayat (2) RKUHAP tersebut dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk mencari keadilan bagi korban tindak pidana.
Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, meskipun peraturan ini dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mendukung proses beracara di peradilan pidana Indonesia, tetap penting untuk memperhatikan hak saksi dan ahli untuk memberikan keterangan di persidangan. Saksi dan ahli yang diminta untuk memberikan keterangan harus dipastikan dapat menyampaikan informasi secara sederhana dan benar kepada perangkat sidang tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Saksi dan ahli juga memiliki hak untuk menolak memberikan keterangan dalam beberapa situasi tertentu.