Latar Belakang
Permohonan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan dua instrumen hukum yang disediakan oleh sistem peradilan Indonesia bagi kreditor untuk menagih hutangnya secara efektif ketika debitor dianggap tidak lagi mampu melakukan pembayaran. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU KPKPU), tepatnya dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyebutkan bahwa “debitor dapat dinyatakan pailit apabila memiliki dua atau lebih kreditor, dan tidak membayar setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”. Adapun untuk permohonan PKPU diatur pada Pasal 222 ayat (1) dan (3), yang mana pada dasarnya memiliki syarat dan ketentuan sama halnya dengan permohonan pailit (berlaku secara mutatis-mutandis).
Namun demikian, agar permohonan tersebut dapat dikabulkan, Undang-Undang menambahkan satu prasyarat penting yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU, yaitu bahwa fakta-fakta yang mendasari permohonan Pailit dan/atau PKPU haruslah dapat dibuktikan secara sederhana. Pembuktian sederhana sendiri adalah pembuktian yang mengharuskan kreditor untuk membuktikan 2 (dua) hal secara jelas, yaitu unsur debitor memiliki dua atau lebih kreditor, dan debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Syarat inilah yang pada praktiknya membuat pembuktian dalam permohonan Pailit ataupun PKPU, seringkali mendapat penolakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Penolakan tersebut umumnya dapat dikarenakan berbagai faktor, seperti adanya unsur tindak pidana, keadaan kahar (force majeure), ultravires ataupun perbuatan lainnya yang menyebabkan pembuktian terkait eksistensi utang debitor tidak bisa dilakukan melalui upaya hukum Pailit dan/atau PKPU di Pengadilan Niaga. Hal ini dikarenakan esensi dari pembentukan Pengadilan Niaga menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sendiri bertujuan untuk menciptakan proses peradilan yang cepat, sederhana, dan efisien, mengingat perkara utang-piutang di dunia usaha seringkali bersifat mendesak dan berdampak luas secara ekonomi.
Di antara berbagai bentuk pembelaan debitor yang dapat menggagalkan terpenuhinya unsur pembuktian sederhana, salah satunya adalah dalil/tangkisan yang sering disebut “exceptio non adimpleti contractus”. Kehadiran doktrin ini sering kali menyebabkan permohonan pailit atau PKPU tidak dapat dikabulkan karena menimbulkan perdebatan mengenai eksistensi utang yang belum dapat dipastikan secara sederhana. Lantas, apakah yang dimaksud dengan exceptio non adimpleti contractus, dan sejauh mana doktrin tersebut mempengaruhi pembuktian sederhana dalam permohonan pailit dan/atau PKPU?
Pembahasan
Doktrin exceptio non adimpleti contractus lahir dari prinsip keadilan dalam hubungan kontraktual. Sebagaimana dalam hubungan perjanjian timbal balik, kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk saling memenuhi prestasi. Oleh karena itu umumnya exceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi oleh karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi. Bila salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, maka pihak lain berhak untuk menangguhkan pelaksanaan prestasinya sebagai bentuk pembelaan hukum. Prinsip ini tercermin jelas dalam Pasal 1478 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
“ Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya” .
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami jika prinsip ini merupakan bentuk tangkisan aktif yang mengedepankan asas resiprositas, yaitu tiada prestasi dibayarkan bila prestasi yang dijanjikan saja tidak diberikan.
Namun, ketika doktrin ini diterapkan dalam konteks permohonan pailit atau PKPU, masalah yang lebih besar muncul. Permohonan pailit didasarkan pada keberadaan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, yang secara normatif harus dapat dibuktikan secara sederhana. Tetapi bagaimana mungkin pembuktian dianggap sederhana bila eksistensi utang itu sendiri masih diperdebatkan. Ketika debitor mengklaim bahwa ia tidak membayar bukan karena lalai, melainkan karena kreditor wanprestasi terlebih dahulu, maka perkaranya bukan lagi soal utang, melainkan soal siapa yang terlebih dahulu melanggar perjanjian. Di sinilah letak kompleksitas yang ditimbulkan oleh doktrin exceptio non adimpleti contractus.
Ketika debitor mengajukan tangkisan exceptio non adimpleti contractus dalam permohonan pailit, situasi perkara bisa langsung berubah menjadi jauh lebih rumit. Hakim tidak lagi cukup hanya melihat bukti tagihan atau dokumen seperti purchase order, melainkan harus menyelami lebih dalam bagaimana sebenarnya hubungan hukum antara para pihak terbentuk dan dijalankan. Ini berarti hakim perlu menilai isi kontraknya, apakah kewajiban-kewajiban dalam perjanjian benar-benar telah dijalankan, hingga sejauh mana komunikasi atau interaksi bisnis antara debitor dan kreditor berlangsung selama masa pelaksanaan perjanjian. Bahkan, dalam banyak kasus, dibutuhkan juga pendapat saksi atau ahli untuk memperjelas duduk perkara. Pada titik ini, pembuktian yang awalnya bersifat formal dan administratif telah bergeser menjadi pemeriksaan yang bersifat substantif dan penuh penafsiran. Karena itu, bila sengketa seperti ini muncul, upaya hukum Pailit dan/atau PKPU yang semestinya dilaksanakan secara cepat menjadi tidak lagi cocok, dan lebih tepat diselesaikan melalui gugatan perdata biasa yang memberi ruang untuk pembuktian secara lebih menyeluruh.
Adapun contoh kasus terkait, dapat dilihat dalam Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT Prima Jaya Informatika melawan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). PT Prima Jaya mengajukan permohonan pailit dengan dasar bahwa Telkomsel tidak membayar kewajiban senilai miliaran rupiah. Namun, Telkomsel membantah dengan alasan bahwa pemutusan kerja sama terjadi karena PT Prima Jaya terlebih dahulu melanggar kewajiban dalam perjanjian distribusi. Telkomsel menolak tuduhan wanprestasi dan justru menggunakan doktrin exceptio non adimpleti contractus sebagai dasar pembelaannya. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa karena terdapat sengketa serius mengenai pelaksanaan perjanjian, maka pembuktian tidak lagi dapat dianggap sederhana, akibatnya permohonan pailit pun dibatalkan.
Dari sini terlihat jelas bahwa penerapan exceptio non adimpleti contractus berpotensi besar menjadikan suatu utang tidak lagi pasti dan tidak layak menjadi dasar objek pemeriksaan pailit. Sengketa seperti ini bukan semata soal tagihan belum dibayar, tetapi menyangkut keabsahan tagihan itu sendiri, berdasarkan apakah prestasi kreditor telah dilaksanakan sesuai perjanjian atau tidaknya.
Kesimpulan
Permohonan pailit atau PKPU memang ditujukan untuk menyelesaikan masalah utang secara cepat, tetapi proses ini hanya bisa dijalankan jika pembuktiannya dilakukan secara sederhana. Ketika debitor mengajukan tangkisan exceptio non adimpleti contractus, pembuktian menjadi jauh lebih rumit karena muncul perdebatan siapa yang lebih dulu wanprestasi. Hakim pun harus menilai ulang perjanjian, pelaksanaan kewajiban, hingga komunikasi antar pihak, bukan sekadar melihat tagihan yang belum dibayar. Dalam kondisi seperti ini, permohonan pailit kehilangan relevansinya sebagai upaya hukum cepat, dan seharusnya dialihkan melalui gugatan perdata biasa pada Pengadilan Negeri. Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 jadi salah satu bukti nyata bahwa doktrin ini bisa menggagalkan permohonan pailit karena utangnya sendiri belum jelas. Artinya, exceptio non adimpleti contractus bukan hanya tangkisan, tapi penentu apakah suatu perkara layak masuk ranah kepailitan atau tidaknya.