SIARAN PERS
MANGATUR NAINGGOLAN LAW FIRM (MNL)
Kami para advokat dan Konsultan Hukum dari Mangatur Nainggolan Law Firm (MNL) selaku Kuasa Hukum Perkumpulan Tani Handayani Lestari (“PTHL”) Blitar, dengan tegas mengecam dugaan praktik mafia tanah, maladministrasi, serta tindakan intimidatif yang dialami oleh PTHL dalam upaya redistribusi tanah di Desa Soso, Kabupaten Blitar. Peristiwa ini mencerminkan bagaimana hukum agraria yang seharusnya berpihak kepada warga negara untuk dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini petani di Kabupaten Blitar, justru menjadi korban ketidakpastian hukum serta dugaan manipulasi dalam proses redistribusi tanah yang tidak transparan. Kami menyerukan agar kasus ini menjadi perhatian serius pemerintah, media, dan masyarakat luas demi tegaknya keadilan bagi petani yang telah lama berjuang mempertahankan haknya.
Bermula dari penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan Nomor 02/Soso atas nama kepemilikan dari PT Kismo Handayani (PT KH) yang pada saat itu mencoret tanah Letter C milik masyarakat untuk diberikan ke pihak perkebunan sehingga masyarakat terusir dari perkebunan. Setelah puluhan tahun berlaku, HGU 02/Soso resmi berakhir tanpa adanya permohonan perpanjangan maupun pembaharuan, sehingga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanah telah kembali menjadi tanah negara. Mengetahui HGU telah kembali menjadi tanah negara, masyarakat petani yang dulunya menggarap di tanah HGU sebelum HGU terbit, mulai menggarap kembali lahan eks HGU sebagai sumber penghidupan mereka. Tidak hanya menanam berbagai komoditas pertanian, tanah ini juga menjadi fondasi ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Melihat peluang redistribusi tanah yang dijamin dalam kebijakan Reforma Agraria, pada tahun 2019 masyarakat petani sejumlah kurang lebih 120 (seratus dua puluh) Kartu Keluarga mendirikan badan hukum PTHL untuk memperjuangkan legalitas tanah garapan mereka kepada pemerintah. Langkah lebih lanjut dilakukan pada tahun 2021, di mana PTHL secara resmi mengajukan permohonan redistribusi tanah dengan dokumen yang sah dan lengkap sesuai prosedur kepada Kementerian ATR/BPN, BPN Jawa Timur, BPN Kabupaten Blitar, Gubernur Jawa Timur, dan Bupati Blitar. Pengajuan ini pun didampingi oleh para akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yakni Prof. Dr. Suhariningsih, S. H., S. U., Prof. Dr. Achmad Shodiki, S. H., Prof. Dr. Imam Kuswahyono, S.H., M.Hum untuk memastikan pengajuan redistribusi dilakukan sesuai hukum yang berlaku.
Namun, pada tanggal 6 Juli 2022, hasil Sidang Panitia Pertimbangan Landreform mengungkap dugaan ketidakadilan yang mencengangkan, yaitu banyak pihak yang menerima tanah lebih dari satu kali, bahkan hingga lima kali, sementara petani anggota PTHL yang telah menggarap tanah tersebut selama bertahun-tahun dan telah mengajukan permohonan redistribusi sesuai prosedur hukum tidak ditunjuk menjadi subjek penerima redistribusi. Tidak ada verifikasi langsung di lapangan untuk membuktikan siapa sebenarnya yang betul-betul menggarap dan berhak mendapatkan redistribusi. Ada pula nama-nama yang dicatut sebagai penerima redis, namun pada faktanya tidak menggarap dan tidak pernah mengajukan redistribusi. Pembagian tanah dilakukan tanpa transparansi, menguatkan dugaan peluang besar bagi praktik mafia tanah.
Tidak hanya sampai disitu, tahun 2021 hingga 2023 menjadi periode kelam berbagai bentuk intimidasi oknum preman terhadap petani PTHL. Tanaman dihancurkan, posko perkebunan dibakar, dan para petani dihadapkan pada tindakan represif oleh oknum yang mengaku berasal dari PT KH, dengan dugaan pelaku utama yang bernama Deny Sutejo. Peristiwa perusakan ini disaksikan oleh aparat Kepolisian Resor Blitar yang hanya diam menyaksikan, bahkan seakan “menjaga” berlangsungnya aksi perusakan tersebut. Petani PTHL pun tidak tinggal dia, mereka telah berupaya mencari keadilan ke Polres Blitar sejak tahun 2021.
Tidak disangka dan tidak diduga, pada tanggal 24 Oktober dan 02 November 2023, Polres Blitar menerbitkan SP2HP A5 yang pada intinya menyatakan penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa pelapor tidak memiliki bukti kepemilikan tanah. Hal ini sudah jelas merupakan sebuah alasan yang mengabaikan hak penggarapan serta kejelasan status tanah negara, mengingat tanah garapan masyarakat adalah tanah yang masih dalam proses permohonan redistribusi sehingga sudah jelas belum ada alas hak yang dapat diterbitkan atas tanah tersebut.
Mengetahui hal ini, PTHL pun tidak tinggal diam. Pada tanggal 21 Juni 2023 PTHL kembali mengajukan pengaduan dugaan mafia tanah kepada Kejaksaan Agung RI. Berbagai pertemuan dan koordinasi dilakukan dalam rentang waktu antara tanggal 22 September 2023 hingga 16 Juli 2024, termasuk penyerahan bukti tambahan kepada Kejaksaan Negeri Blitar. Sejak bulan Februari 2025, Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar telah mengambil alih pemeriksaan pengaduan ini mengingat Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar lah yang berwenang memeriksa pengaduan PTHL.
Langkah hukum terus menerus diperjuangkan. Pada 14 Oktober 2024, PTHL mengajukan pengaduan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman RI, menyasar Kementerian ATR/BPN, BPN Jawa Timur, BPN Kabupaten Blitar, Gubernur Jawa Timur, Bupati Blitar, dan Polres Blitar, yang hingga saat ini masih dalam proses pemeriksaan. Hari berganti minggu, minggu berganti, bulan, bulan berganti tahun. Lima tahun sudah berlalu perjuangan PTHL dalam mendapatkan haknya sebagai subjek yang berhak menerima redistribusi tanah, namun kepastian hukum belum juga muncul. Kondisi tanah yang telah diredistribusi kepada pihak-pihak yang tidak jelas asal usulnya saat ini dalam kondisi terlantar, sedangkan masyarakat petani PTHL yang telah terusir dari tanah garapannya semakin terpuruk. Mereka telah kehilangan lahan garapan, menjual rumah untuk bertahan hidup, dan terpaksa meninggalkan sektor pertanian yang telah menjadi warisan hidup mereka.
Melihat ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang terus berlarut-larut, kami mendesak pihak-pihak terkait untuk bertanggungjawab:
- Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah tegas dalam meninjau ulang proses redistribusi tanah di Kabupaten Blitar dan memastikan tanah tersebut jatuh ke tangan para petani yang berhak.
- Kementerian ATR/BPN beserta perwakilannya di daerah melalui BPN Kanwil Jawa Timur dan BPN Kabupaten Blitar, agar segera memberikan kepastian hukum kepada anggota PTHL sebagai penerima hak redistribusi tanah, sesuai dengan kebijakan Reforma Agraria.
- Kejaksaan Agung RI beserta perwakilannya di daerah melalui Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar, untuk turun tangan dalam mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah yang telah menghambat redistribusi tanah dan merugikan petani di Blitar.
- Ombudsman RI, untuk mempercepat investigasi terhadap dugaan maladministrasi oleh Kementerian ATR/BPN, BPN Kanwil Jawa Timur, BPN Kabupaten Blitar, Gubernur Jawa Timur, Bupati Blitar, dan Kepolisian Resor Blitar.
- Kepolisian Republik Indonesia, untuk bertindak tegas terhadap oknum yang melakukan intimidasi, perusakan tanaman, dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan petani.
Hormat Kami,
Mangatur Nainggolan Lawfirm (MNL)