Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS“) merupakan organ perseroan yang memiliki wewenang pengambilan keputusan para pemegang saham yang tidak dapat diberikan atau dialihkan kepada Direksi dan Komisaris. Dengan demikian, RUPS menjadi forum penting dalam pengambilan keputusan Perseroan oleh para pemegang saham, yang pada umumnya dilaksanakan melalui RUPS konvensional yang dilaksanakan di tempat kedudukan perseroan, baik secara tatap muka maupun elektronik sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) dalam Pasal 76 dan 77. Selain melalui RUPS, terdapat mekanisme alternatif pengambilan keputusan dari para pemegang saham yaitu circular resolution. Circular resolution atau “usul keputusan yang diedarkan” dikenal sebagai pengambilan keputusan pemegang saham di luar RUPS.

Pada Pasal 91 UU PT, mengatur ketentuan bahwa para pemegang saham dapat mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat seluruh pemegang saham yang memiliki hak suara menyetujui usulan secara tertulis. Keputusan melalui circular resolution mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang dihasilkan melalui RUPS konvensional. Dengan demikian, circular resolution bisa dianggap sebagai alternatif mekanisme RUPS, baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa asalkan syarat mutlak keabsahan telah terpenuhi yakni harus memperoleh persetujuan seluruh pemegang saham.

Circular resolution pada dasarnya merupakan alternatif mekanisme pengambilan keputusan di luar RUPS yang memiliki keabsahan dan kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS. Adapun mekanisme pengambilan keputusan melalui circular resolution berdasarkan Penjelasan Pasal 91 UU PT yakni sebagai berikut:

1. Mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada seluruh pemegang saham; dan
2. Usul tersebut harus disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa circular resolution dapat digunakan sebagai alternatif pengambilan keputusan untuk seluruh mata agenda RUPS. Pada dasarnya circular resolution bersifat satu arah atau sepihak dari pengusul, meski pengambilan keputusan tetap berdasarkan persetujuan seluruh pemegang saham. Atas dasar tersebut, maka perlu perhatian khusus terhadap mata agenda RUPS yang sifatnya dua arah seperti halnya pemberhentian Direksi atau Komisaris. Berdasarkan uraian di atas, maka timbul suatu pertanyaan apakah pemberhentian Direksi atau Komisaris dapat dilakukan melalui mekanisme circular resolution?

Perlu dipahami bahwa Direksi dan Komisaris dalam hal ini tindak hanya sebagai organ perseroan, akan tetapi juga sebagai subjek hukum. Selain memiliki kewajiban untuk menjalankan Perseroan dan bertanggung jawab penuh atas Perseroan, Direksi dan Komisaris juga memiliki hak yang diamanatkan oleh UU PT ketika dihadapkan dengan risiko diberhentikan. Bahwa berdasarkan Pasal 105 ayat (3) UU PT, Direksi memiliki hak untuk menerima pemberitahuan yang layak (proper notice) dan melakukan pembelaan atau menyampaikan pendapat atas rencana pemberhentian (right to be heard) sebelum pengambilan keputusan. Bahwa mengenai ketentuan dan mekanisme pemberhentian Direksi, berdasarkan Pasal 119 UU PT berlaku secara mutatis mutandis untuk pemberhentian Komisaris. Pelaksanaan amanat UU PT terkait prosedur pemberhentian Direksi atau Komisaris bukan semata-mata sebagai formalitas administratif, akan tetapi sebagai pelaksanaan asas transparansi (tranparency) serta Kewajaran dan Kesetaraan (fairness) sebagaimana prinsip Good Corporate Governance.

Bahwa Pasal 91 UU PT secara normatif tidak memberikan pembatasan mengenai jenis keputusan yang dapat diambil melalui mekanisme circular resolution, maka sepanjang keputusan tersebut berada dalam ranah kewenangan RUPS dan memperoleh persetujuan tertulis dari seluruh pemegang saham dengan hak suara, keputusan dimaksud sah dan mengikat secara hukum. Dengan demikian, circular resolution dapat digunakan dalam mata acara pemberhentian Direksi atau Komisaris. Namun dengan catatan, dalam proses pelaksanaannya tidak boleh mengabaikan prosedur wajib sebagaimana amanat UU PT yakni dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direksi atau Komisaris yang bersangkutan dan memberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan atau menyampaikan pendapat atas rencana pemberhentian sebelum pengambilan pelaksanaan keputusan.

Terhadap circular resolution yang dilaksanakan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus terkait mata acara RUPS, maka keputusan yang dihasilkan tersebut berpotensi cacat prosedur. Bahwa cacat prosedur dalam hal ini dapat berimplikasi terhadap hilangnya kekuatan hukum keputusan circular resolution, serta dapat menimbulkan perkara di kemudian hari. Dalam hal ini, Direksi atau Komisaris yang merasa dirugikan atas tidak dilaksanakannya prosedur sebagaimana diatur pada Pasal 105 ayat (3) UU PT terkait pemberhentian melalui circular resolution, dapat melakukan upaya hukum gugatan melawan hukum yang ditujukan kepada Perseroan atau pemegang saham pengendali. Guna menghindari risiko perkara yang timbul atas adanya keputusan circular resolution terkait pemberhentian Direksi atau Komisaris, maka penting halnya memperhatikan prosedur pelaksanaan sebagaimana diatur Pasal 105 ayat (3) UU PT.

Kesimpulan
Circular resolution menawarkan kemudahan dan fleksibilitas bagi pemegang saham untuk mengambil keputusan tanpa harus menggelar RUPS fisik, karena kekuatannya yang setara dengan RUPS. Bahwa secara normatif, circular resolution dapat digunakan untuk menentukan keputusan pemberhentian Direksi atau Komisaris, dikarenakan pada UU PT tidak mengatur larangan atau batasan penggunaan circular resolution. Namun, perlu diperhatikan hak Direksi atau Komisaris sebagai subjek hukum, yang di mana Direksi atau Komisaris yang akan diberhentikan wajib mendapatkan pemberitahuan dan kesempatan menyampaikan keberatan agar keputusan dari circular resolution terhindar dari cacat prosedur dan memiliki kekuatan hukum selayaknya penghentian Direksi atau Komisaris melalui RUPS. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, penggunaan circular resolution untuk memberhentikan Direksi atau Komisaris bisa menjadi instrumen yang sah dan efisien dengan tetap memperhatikan prosedur pelaksanaan guna meminimalisir potensi sengketa.

Referensi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, Jakarta: Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006.
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Penulis: Muhamat Yanuar Abidin, S.H.

Editor: Yohana Maranatha, S.H., M.Kn.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *