Di Indonesia, definisi dari Energi Terbarukan (“EBT”) diatur dalam pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU 30/2007”) yang berbunyi:
“energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.”
Lebih lanjut, terkait sumber energi terbarukan secara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 6 UU 30/2007 berbunyi:
“sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelala dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.”
Dalam UU 30/2007 secara spesifik mengatur dan mendefinisikan energi terbarukan sebagai jenis energi yang belum umum digunakan atau sedang dalam tahap pengembangan, dan EBT sebagai energi yang berasal dari sumber daya energi yang dapat dengan cepat dipulihkan secara alami. Undang-undang ini menjadi dasar hukum utama yang mengatur terkait Kebijakan Energi Nasional (“KEN”) di Indonesia, secara eksplisit mengamanatkan peningkatan pemanfaatan EBT, menegaskan penguasaannya oleh negara untuk kemakmuran rakyat, dan memberikan dukungan berupa insentif serta penetapan harga beli listrik EBT. Selain UU 30/2007, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. (“Perpres 112/2022”) yang secara spesifik mengatur mengenai pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan.
Implementasi Pengelolaan EBT
Lebih lanjut, dalam konteks implementasi teknisnya, Pasal 4 ayat (1) Perpres 112/2022 menyebutkan bahwa:
“Sumber Energi Terbarukan merupakan sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik berupa panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.”
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) Perpres 112/2022 berbunyi:
“Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dilakukan dari pembangkit Tenaga Listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan yang terdiri atas:
- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP);
- Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA);
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (PLTS);
- Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB);
- Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm);
- Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg);
- Pembangkit Listrik Tenaga Energi Laut; dan
- Pembangkit Listrik Tenaga Bahan Bakar Nabati (PLT BBN).”
Daftar tersebut menunjukkan cakupan luas dari jenis-jenis pembangkit berbasis energi terbarukan yang diakui dan diakomodasi dalam kebijakan nasional, sekaligus mencerminkan komitmen negara dalam diversifikasi sumber energi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Salah satu implementasi dari EBT yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah melalui mekanisme perdagangan karbon pada Bursa Karbon (IDXCarbon) yang didirikan pada tahun 2023 berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Perusahaan yang berhasil mengurangi emisi karbon dalam proses usahanya akan diberikan sertifikat yang menunjukkan jumlah emisi yang berhasil dikurangi. Sertifikat tersebut kemudian dapat diperjualbelikan di IDXCarbon. Hal ini menegaskan bahwa implementasi EBT melalui perdagangan karbon merupakan peran pemerintah dan sektor usaha dalam mendukung transisi energi nasional.
Pihak yang Bertanggung Jawab dalam Pengembangan EBT
Tanggung jawab utama dalam implementasi UU 30/2007 dan Perpres 112/2022, serta pengembangan EBT secara keseluruhan, tentu diawasi dan dilaksanakan oleh pemerintah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), khususnya melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), adalah koordinator utama yang bertugas merumuskan kebijakan, menetapkan regulasi turunan, dan mengawasi implementasi proyek EBT. Dewan Energi Nasional (DEN) memiliki peran strategis dalam merumuskan KEN, serta mengawasi pelaksanaannya. Selain itu, Kementerian Keuangan berperan dalam menyediakan pembiayaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan keberlanjutan lingkungan, dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mengidentifikasi potensi dan memfasilitasi pengembangan EBT di wilayahnya melalui Rencana Umum Energi Daerah (“RUED”).
Kesimpulan
Pengembangan EBT di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat dan komprehensif, sebagaimana diatur dalam UU 30/2007 serta diperkuat dengan Perpres 112/2022. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, negara memegang tanggung jawab utama untuk mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan secara maksimal demi mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional. Salah satu bentuk implementasi nyata dari EBT adalah mekanisme perdagangan karbon, di mana perusahaan yang berhasil menurunkan emisi, dapat memperoleh sertifikat emisi yang dapat diperdagangkan di IDXCarbon.
Dengan demikian, kewajiban pemerintah dalam mengembangkan EBT bukan hanya sebagai bentuk pelaksanaan undang-undang, tetapi juga sebagai langkah konkret menuju transisi energi yang berkelanjutan, efisien, dan ramah lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang.