Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan pribadi, keluarga, maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.
Dalam praktik bisnis modern, strategi pemasaran menjadi elemen penting untuk meningkatkan daya saing dan volume penjualan. Salah satu strategi yang sering digunakan oleh pelaku usaha adalah up-selling, yakni metode menawarkan produk atau layanan yang memiliki nilai lebih tinggi dari yang awalnya dipilih oleh konsumen. Walaupun praktik up-selling pada dasarnya dibolehkan, persoalan timbul apabila pelaku usaha tidak memberikan informasi yang jelas dan terbuka mengenai biaya tambahan atau perubahan pada spesifikasi produk, sehingga berisiko melanggar hak-hak konsumen.
Hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur diatur dalam Pasal 4 huruf c UUPK. Ketika pelaku usaha tidak memenuhi kewajiban ini, praktik up-selling dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan yang merugikan konsumen sebagaimana dilarang dalam Pasal 10 UUPK. Pasal 10 UUPK secara tegas melarang pelaku usaha untuk menawarkan atau mempromosikan barang dan/atau jasa dengan cara yang tidak benar atau menyesatkan, termasuk mengenai harga, kualitas, dan manfaat suatu produk.
Pasal 4 UUPK menyebutkan hak-hak konsumen, antara lain:
- huruf c: hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- huruf g: hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Dalam praktik up-selling, konsumen kerap kali ditawari produk tambahan atau peningkatan spesifikasi tanpa disertai informasi mengenai biaya tambahan. Contohnya dalam sektor makanan dan minuman, pramuniaga menawarkan pilihan ukuran lebih besar atau topping tambahan tanpa menjelaskan bahwa terdapat biaya tambahan. Praktik seperti ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga melanggar asas transparansi dan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b dan c UUPK.
Pasal 7 UUPK mengatur kewajiban pelaku usaha, yaitu:
- huruf b: memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- huruf c: memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Apabila konsumen merasa dirugikan, konsumen dapat menempuh berbagai upaya hukum salah satunya melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini mencerminkan keseriusan negara dalam menegakkan hak-hak konsumen serta mendorong pelaku usaha agar menjalankan praktik bisnis yang beretika.
Di samping itu, peran BPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 72 Tahun 2020 tentang BPSK dapat menjadi forum penyelesaian sengketa secara non-litigasi bagi konsumen yang dirugikan oleh praktik up-selling yang tidak transparan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik up-selling yang tidak disertai dengan informasi transparan mengenai harga dan spesifikasi produk merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK. Pelaku usaha wajib memenuhi prinsip keterbukaan informasi dan beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya. Negara melalui instrumen hukum dan kelembagaan, seperti UUPK dan BPSK, telah menyediakan mekanisme perlindungan dan penyelesaian sengketa untuk menjamin hak-hak konsumen tetap terlindungi.
Oleh karena itu, edukasi terhadap pelaku usaha dan konsumen perlu ditingkatkan, serta pengawasan dari pemerintah diperkuat agar praktik pemasaran yang dilakukan tidak melenceng dari nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab.