Permasalahan

Beberapa waktu lalu kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga menjadi perhatian publik setelah masyarakat melaporkan buruknya kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina jenis RON 92 atau biasa dikenal dengan sebutan “Pertamax”. Laporan awal datang dari warga daerah Papua, Palembang, dan Sumatera Selatan, yang merasa bahwa kualitas BBM yang didapatkan tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kejaksaan Agung pun menindaklanjuti hal tersebut dengan melakukan investigasi yang mengungkap adanya praktik blending ilegal, di mana bahan bakar RON 92 telah dicampur dengan RON 90, atau bahkan RON 88. Akibatnya masyarakat membayar lebih mahal untuk BBM yang kualitasnya lebih rendah dari yang seharusnya, sementara negara juga terbebani dengan subsidi yang meningkat akibat penyimpangan tersebut.

 

Lebih Lanjut, pada proses penyelidikan juga terungkap bahwa Direksi dari anak perusahaan Pertamina sengaja mengatur kebijakan untuk menurunkan readiness kilang domestik, yang akhirnya mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam jumlah besar. Seharusnya berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 Tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, telah ditegaskan bahwa prioritas utama dalam pemenuhan kebutuhan minyak mentah adalah dari sumber dalam negeri. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang menyatakan:

 

“PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mengutamakan pasokan Minyak Bumi yang berasal dari dalam negeri.”

 

Artinya, sebelum melakukan impor, Pertamina sebagai badan usaha yang bertanggungjawab atas distribusi BBM harus terlebih dahulu menyerap produksi minyak mentah dalam negeri. Namun dalam kasus ini, Direksi anak perusahaan Pertamina diduga justru mengatur kebijakan yang mengurangi readiness kilang domestik, sehingga memperbesar ketergantungan pada impor minyak mentah. Tindakan ini jelas bertentangan dengan ketentuan yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya domestik dan berakibat potensi kerugian hingga Rp193,7 triliun dalam kurun waktu satu tahun, sementara masyarakat mengalami kerugian sekitar Rp17,4 triliun per tahun karena membeli BBM dengan kualitas yang lebih rendah dari yang dijanjikan.

 

Pertanggungjawaban Holding Company Beserta Direksinya

Bila ditinjau dari sudut pandang hukum korporasi, meskipun pelaku utama berasal dari anak perusahaan seperti PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional, PT Pertamina (Persero) sebagai holding company tetap memiliki kewajiban untuk mengawasi aktivitas dari anak usahanya. Hal ini dikarenakan holding company dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berperan sebagai induk perusahaan yang memiliki kendali atas anak-anak perusahaannya melalui kepemilikan saham mayoritas. holding Company sendiri biasanya tidak aktif dalam melakukan kegiatan bisnis dan hanya sebatas menanamkan saham dalam berbagai perseroan sebagai anak perusahaan dan kemudian anak perusahaanlah yang melakukan kegiatan bisnis. Berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) disebutkan bahwa setiap saham yang dikeluarkan oleh perusahaan memberikan satu hak suara, kecuali diatur berbeda dalam anggaran dasar. Oleh karena kepemilikan sahamnya yang mencapai lebih dari 50% saham atau hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), holding Company memiliki kewenangan untuk mengarahkan jalannya rapat dan menentukan keputusan strategis pada anak perusahaan. Dengan begitu kedudukan holding company tersebut secara tidak langsung memberikan kewenangan yang luas dalam mengendalikan anak perusahaan. 

 

Selain itu terdapat pula perlindungan hukum yang membatasi tanggung jawab holding Company selaku pemegang saham mayoritas, dikarenakan hubungan hukum antara holding Company dan Subsidiary Company berpedoman pada prinsip entitas yang terpisah (separate entity) serta prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability). Prinsip tanggung jawab terbatas ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT, yang menyebutkan bahwa pemegang saham, termasuk holding company, tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi jumlah saham yang dimiliki. Namun demikian, prinsip tanggung jawab terbatas ini juga memiliki pengecualian dalam beberapa kondisi yang biasa dikenal dengan “prinsip piercing the corporate veil” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT yang menyebutkan:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: 

  • persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 
  • pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi
  • pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau 
  • pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.”

 

Piercing the corporate veil adalah konsep hukum yang memungkinkan pengadilan untuk menembus perlindungan hukum yang diberikan kepada perusahaan sebagai badan hukum yang terpisah dari pemiliknya. Sehingga jika terbukti pemegang saham termasuk holding company, terlibat dalam tindakan melawan hukum, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan perseroan untuk kepentingan pribadi secara tidak wajar, maka mereka dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadi sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UUPT. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UU PT, Direksi merupakan pihak yang bertanggung jawab secara penuh terhadap perseroan dan wajib melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik (good faith). Sehingga apabila Direksi bersalah dan/atau lalai dalam menjalankan tugasnya, Direksi tersebut wajib bertanggung jawab menggantikan holding company, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat (3) UU PT. Begitupun jika Direksi yang bersalah mencakup lebih dari 1 orang, tanggung jawab kerugian perusahaan akan dibebankan pada setiap anggota Direksi tersebut secara tanggung renteng. Dalam hal ini secara administratif, Direksi yang melakukan kesalahan tersebut umumnya dapat dikenakan sanksi pencopotan jabatan melalui mekanisme RUPS jika terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian. Namun hal ini juga bergantung erat pada jumlah suara para pemegang saham dalam RUPS.

 

Selain itu, bila ditinjau dalam hukum pidana jika terbukti Direksi PT Pertamina mengetahui atau bahkan menyetujui praktik ilegal ini, maka PT Pertamina selaku holding Company juga bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dalam konteks penyertaan (deelneming) atau membiarkan tindak pidana tersebut terjadi. Penyertaan sendiri diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengklasifikasikan beberapa unsur, antara lain orang yang melakukan (pledgen), menyuruh melakukan (doenpledgen), dan turut serta melakukan perbuatan (medeplegen). Namun demikian, penerapan sanksi pidana tersebut dan klasifikasi penyertaan, bergantung pada seberapa jauh Direksi terlibat dalam praktik blending ilegal yang melibatkan anak perusahaannya. Saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan enam petinggi Pertamina dan tiga orang dari sektor swasta sebagai tersangka dalam kasus ini. Para tersangka dari Pertamina berasal dari jajaran Direksi anak usaha, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional. Mengingat skala besar kasus ini dan dampaknya terhadap negara serta masyarakat, besar kemungkinan Kejaksaan Agung akan mendalami lebih lanjut peran Direksi PT Pertamina sebagai holding company.

 

Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada uraian di atas, meskipun holding company memiliki prinsip entitas yang terpisah dan tanggung jawab terbatas sebesar saham yang dimilikinya, PT Pertamina sebagai induk perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk memberikan pengawasan terhadap anak perusahaan. Kemudian jika terbukti Direksi PT Pertamina mengetahui atau menyetujui praktik blending ilegal yang dilakukan oleh anak perusahaannya, maka mereka dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan prinsip piercing the corporate veil, baik secara perdata, administratif, maupun pidana. Dalam ranah perdata, Direksi dapat dimintakan ganti rugi atas kelalaiannya sesuai dengan Pasal 97 ayat (3) UUPT. Secara administratif, Direksi yang melakukan kesalahan dapat dikenakan sanksi pencopotan jabatan melalui mekanisme RUPS jika terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian. Sementara itu, dalam ranah pidana, Direksi yang terlibat dapat dikenai sanksi sesuai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jika terbukti turut serta atau membiarkan tindak pidana terjadi. Dengan demikian, kasus ini menegaskan pentingnya penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam BUMN serta perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan yang diambil oleh Direksi, agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan negara dan masyarakat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *